Selasa, 05 Januari 2010

Pendidikan Matematika

Salam,, Pada blog ini kita bisa saling bertukar informasi dan pengalaman seputar permasalahan pendidikan terutama pendidikan matematika. Permasalahan yang menurut saya begitu kompleks, dan tanpa ada tawar menawar lagi harus segera untuk dibenahi. Dalam proses pembenahan tersebut, disini saya akan mengutip pernyataan Prof. Drs. R. Soedjadi (Guru Besar Emiritus Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya) yang menyatakan bahwa “Dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan untuk kepentingan kualitas siswa-siswa kita sebagai generasi muda kita. Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada keanekaragaman masyarakat indonesia. Kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat dipetik dan bermanfaat bagi Bangsa Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Tanggap di dalam berarti berarti perkembangan yang diterima dari luar perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi di dalam negeri sendiri”.
Dibawah ini saya akan menulis sedikit pandangan-pandangan saya mengenai permasalahan/ problematika dalam pendidikan matematika terutama pendidikan matematika sekolah, yang kemudian diharapkan kepada para pembaca yang merasa tertarik dalam dunia pendidikan matematika, dan yang merasa tergugah hatinya untuk memperbaiki mutu pendidikan matematika di Indonesia untuk memberikan masukan, saran dan kritik yang membangun dalam tulisan ini.


PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) SEBAGAI HARAPAN BARU DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH.


Salah satu mata pelajaran yang diberikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah mata pelajaran matematika. Matematika yang diberikan di jenjang persekolahan tersebut disebut matematika sekolah. Sebagai salah satu ilmu dasar, matematika perlu diberikan mulai dari pendidikan dasar untuk membekali peserta didik (selanjutnya dalam tulisan ini disebut siswa) dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan untuk bekerjasama. Alasan lain yang sederhana dan praktis perlunya matematika untuk dipelajari karena begitu banyak kegunaannya, berikut ini akan diuraikan beberapa kegunaan matematika menurut Russeffendi (2006: 208), yaitu:
1). Dengan belajar matematika kita mampu berhitung dan mampu melakukan perhitungan-perhitungan lainnya.
2). Matematika merupakan persyaratan untuk beberapa mata pelajaran lainnya.
3). Dengan belajar matematika perhitungan menjadi lebih sederhana dan praktis.
4). Dengan belajar matematika diharapkan kita mampu menjadi manusia yang berpikir logis, kritis, tekun, bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan persoalan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa matematika itu sangat penting untuk dipelajari oleh para siswa. Namun, pentingnya matematika tersebut tidak selalu diiringi dengan kemudahan dalam memahami matematika, masih banyak siswa merasa bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit untuk dipelajari, dan siswa-siswapun seringkali mengalami kendala yang berkepanjangan dalam memahaminya. Sebagai akibatnya, pemahaman dan penguasaan terutama terhadap konsep dasar matematika siswa-siswa kita masih tergolong rendah. Kenyataan ini terlihat dalam diskusi maupun seminar-seminar pendidikan matematika, salah satu sorotannya adalah rendahnya mutu pemahaman matematika siswa di Indonesia dibandingkan dengan mutu pemahaman matematika siswa Negara lain. Sebagai indikatornya, dengan adanya keterpurukan Indonesia dalam berbagai tes berstandar internasional (International Standardized Test) yang pernah diikuti. Misalnya, pada survey internasioanal TIMSS (Trends in International Mathematics and Sciences Study) 2007 yang dipublikasikan pada tanggal 9 September 2008 siswa-siswa kita berada diperingkat ke- 36 dari 48 negara peserta (2009, http://www.pikiranrakyat.com), dan dalam survey tiga tahunan PISA (Programme for International Student Assessment) 2006, suatu program Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang mengukur kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan atau mengoperasikan tekhnik matematika, siswa-siswa kita hanya berada pada urutan 52 dari 57 negara peserta (2009, http://www.kompas.com).
Hasil study TIMSS dan PISA diatas, mengindikasikan bahwa selama ini masih terdapat sesuatu yang keliru yang perlu untuk dibenahi dalam proses pendidikan/ pengajaran matematika kita di sekolah. Berdasarkan pengalaman penulis, selain objek kajian dalam matematika yang abstrak, salah satu faktor yang menyebabkan pemahaman dan penguasaan konsep dasar siswa kita belum memuaskan, juga dikarenakan pendekatan mengajar guru yang diterapkan selama ini masih kurang tepat. Dalam penerapannya, guru masih mendominasi pelajaran di kelas, guru masih pemegang otoritas tertinggi keilmuan serta indoktriner dengan metode utama dalam penyampaian materi menggunakan metode ceramah (ekspositori), sementara siswa hanya mendengar dan mencatatnya pada buku catatan. Pengajaran dianggapnya sebagai proses penyampaian fakta-fakta yang berupa definisi, sifat-sifat maupun rumus-rumus yang sudah “jadi” yang telah disajikan dalam buku paket pelajaran matematika kepada para siswa, dan siswa-siswanya dianggap berhasil dalam belajar apabila mereka mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ulangan maupun ujian.
Selain itu, Guru juga masih melaksanakan praktik pengajaran yang monoton yang cenderung mekanistik-strukturalistik dengan tahap-tahap menyajikan teori, definisi atau teorema dilanjutkan dengan memberikan contoh dan diakhiri dengan mengevaluasi siswa dengan latihan-latihan soal. Guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan. Para siswa hanya menerima pelajaran matematika secara pasif dan bahkan hanya menghafal rumus-rumus tanpa memahami makna serta manfaat dari apa yang dipelajarinya. Meskipun praktik pengajaran seperti ini dapat mencapai tujuan materi, namun kegairahan siswa terhadap matematika makin menurun. Hal ini dikarenakan pengajaran seperti ini akan cenderung mengarahkan siswa untuk belajar menghafal materi melalui pengerjaan soal-soal, dan lebih menekankan pada penguasaan matematika sebagai bangunan struktur dalam matematika.
Sedangkan, anggapan dan keyakinan guru yang memposisikan siswa sebagai objek yang hanya bisa menerima transfer ilmu semata-mata darinya berlawanan dengan pandangan para penganut kontruktivisme. Menurut pandangan kontruktivis, tugas guru dalam pembelajaran tidak hanya sebatas pada penyampaian informasi kepada para siswanya saja. Namun, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami mereka dengan berbagai keunikanya masing-masing agar mampu membantu mereka dalam mencapai kesuksesan dalam belajar. Guru harus menjadi fasilitator yang membimbing dan mengupayakan agar siswa-siswanya menjadi subjek belajar yang aktif ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri, dan yang lebih menekankan pada penataan nalar mereka, serta guru harus memandang siswa-siswanya sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang.
Filsafat kontruktivisme berangkat dari teori Jean Piaget yang menganggap struktur kognitif seseorang sebagai sebuah kumpulan skema-skema. Skema tersebut berkembang secara kronologis sebagai hasil interaksi individu dengan lingkunganya (Hadi, 2005 : 13). Berdasarkan pendapat tersebut, pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuannya secara terus-menerus yang dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci dan lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah. Dengan artian bahwa, dunia nyata dapat dijadikan batu loncatan untuk membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang abstrak, karena siswa akan cepat dan mudah memahami yang kongkrit dari pada yang abstrak. Hal ini sejalan dengan pendapat Soedjadi (2007: 21) yang menyatakan bahwa potensi untuk memahami sesuatu yang abstrak ataupun yang kongkrit sebenarnya ada pada diri siswa tersebut, tetapi perkembangan siswa itu cenderung terlebih dahulu mudah memahami yang kongkrit daripada yang abstrak, hal ini sesuai dengan perkembangan kemampuan panca inderanya.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang menggunakan dunia nyata (real world) sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika, serta memberikan keleluasaan kepada siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalamanya adalah pendekatan Realistics Mathematics Education (RME) yang kemudian secara operasionalnya disebut Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Dalam hal ini, dunia nyata yang dimaksud adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Hadi, 2005: 19). Di dalam PMR, menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan.
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) boleh jadi merupakan pendekatan yang menjanjikan dalam pembelajaran Matematika, beberapa literatur menyebutkan bahwa PMR berpotensi meningkatkan pemahaman matematika siswa. Seperti yang dilaporkan oleh De Lange (dalam Zulkardi, 2009: 3-4), PMR yang sudah diterapkan melalui beberapa proyek di beberapa Negara yang berbeda seperti di Amerika Serikat, Portugal, Inggris, Jerman, Spanyol, Brazil, Denmark, Afrika Selatan, Jepang, dan Malaysia menunjukkan hasil yang positif. Di Amerika Serikat misalnya, melalui suatu proyek kerja sama antara Freudenthal Institute, Belanda dan The National Science Foundation, Amerika Serikat. PMR dirancang kembali ke dalam Buku teks Mathematics in Context (MiC) untuk kelas 5 sampai dengan kelas 9, buku tersebut digunakan oleh para siswa di beberapa sekolah di negara bagian yang berbeda. Riset pendahuluan menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa dalam ujian Negara meningkat. Sebagai contoh, para siswa kelas sembilan di daerah Ames (negara bagian Iowa), yang menggunakan buku ini selama tiga tahun, kemudian diuji oleh Iowa Tests of Educational Development. Dalam ujian tersebut menunjukkan bahwa 25% siswa-siswa di negara bagian tersebut menempati 1% terbaik secara nasional, 47% dari 10% terbaik nasional, dan 90% memperoleh nilai diatas rata-rata nasional (Romberg & de Lange dalam Zulkardi, 2009: 3-4). Di Negeri Belanda sendiri, terdapat hasil positif yang dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan PMR dalam mereformasi pendidikan matematikanya yaitu dalam studi komparatif internasional TIMSS, siswa-siswa Belanda menempati posisi yang tinggi. Sedangkan, Penerapan PMR di Indonesia sudah dilakukan yaitu melalui proyek PMRI-PBSI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia-Programma Bilaterale Samenwerken Indonesia) yang dimulai pada tahun 2001 (Uji coba dilakukan di tiga kota besar yaitu Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung), dan setelah berjalan selama hampir tiga tahun menunjukan hasil yang positif, pembelajaran menjadi menyenangkan, siswa menjadi termotifasi, terbiasa bekerjasama, dan saling menghargai (Hadi, 2005: 151).
Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis pendekatan pembelajaran matematika realistik merupakan harapan baru dalam memperbaiki proses pembelajaran matematika kita di sekolah, dengan harapan minat dan motifasi belajar siswa pada matematika dapat meningkat, sehingga penguasaan konsep dasar matematika siswa kita dapat menjadi lebih baik juga.


[+/-] Baca yuk...